Selasa, 22 November 2011

makalah tentang haramnya khalwat atau berduaan bagi lawan jenis


BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan zaman sekarang ini dengan didukung oleh teknologi yang semakin canggih memang telah membuat pola fikir dan pola pergaulan manusia semakin maju dan semakin tidak terbatas. Namun di sisi lain, kita pun juga harus mengerutkan dahi karena dibalik semua kemajuan itu juga ada unsur-unsur negatif yang mengikutinya. Dimana kita lihat sekarang ini pergaulan antara muda mudi sudah tidak ada batasnya lagi, bahkan aktivitas-aktivitas yang semestinya hanya boleh dilakukan oleh sepasang suami istri sudah banyak dilakukan oleh generasi muda kita yang memang belum memiliki ikatan apa-apa apalagi suami istri, yang mana mereka melakukan berdua-duaan di tempat yang remang maupun terang atau di tempat yang rame maupun sunyi, pegangan tangan, rangkulan, ciuman yang semuanya dilakukan atas dasar suka sama suka dengan dalih cinta dalam ritual pacaran.
Melihat hal itu, maka
sudah sepantasnyalah kita bertanya tentang masa depan negeri ini. Dan juga tentunya ini semua perlu peranan kita para generasi muda muslim untuk memberikan pencerahan dan tuntunan kepada mereka tentang adanya aturan dan tuntunan yang Islami dan bermartabat yang sudah ditancapkan oleh Nabi Muhammad saw semenjak 14 abad yang lalu. Yaitu suatu tuntunan yang mengajarkan kepada kita bagaimana melakukan pergaulan yang baik, yang beretika dan tidak melanggar kaidah Allah swt. Dan lebih jelasnya mengenai hal ini akan dibahas pada bab selanjutnya.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Dasar Hukum
Khalwat atau bersama-sama dengan orang lain dalam suatu tempat adalah suatu hal yang sering dilakukan oleh manusia sebagai makhluk yang berasaskan zoon politicon atau makhluk sosial, namun Islam sebagai agama yang universal dan kaffah memberikan tuntunan di dalam melakukan khalwat ini, khususnya ketika dilakukan bersama-sama antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dengan tujuan agar tetap terjaganya kehormatan masing-masing dan terjauh dari kemudharatan.
Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِاِمْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا
Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.[1]

Di dalam hadits lain Rasulullah juga bersabda:

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلَا يَخْلُوَنَّ بِاِمْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahrom wanita tersebut, karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.[2]

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ اِمْرَأَتِيْ خَرَجَتْ حَاجَةً وَاِكْتَتَبْتُ فِيْ غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا قَالَ اِرْجِعْ فَحُجَّ مَعَ اِمْرَأَتِكَ

Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kacuali jika bersama dengan mahrom sang wanita tersebut”. Lalu berdirilah seseorang dan berkata, “Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk berhaji, dan aku telah mendaftarkan diriku untuk berjihad pada perang ini dan itu”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kembalilah!, dan berhajilah bersama istrimu.[3]

Di dalam hadits di atas, nabi saw mengatakan bahwa syaitan akan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua. Berkata Al-Munawi mengenai hal ini, menurut beliau maksudnya adalah syaitan menjadi penengah (orang ketiga) diantara keduanya dengan membisikan mereka (untuk melakukan kemaksiatan) dan menjadikan syahwat mereka berdua bergejolak dan menghilangkan rasa malu dan sungkan dari keduanya serta menghiasi kemaksiatan hingga nampak indah di hadapan mereka berdua, sampai akhirnya syaitan pun menyatukan mereka berdua dalam kenistaan (yaitu berzina) atau (minimal) menjatuhkan mereka pada perkara-perkara yang lebih ringan dari zina yaitu perkara-perkara pembukaan dari zina yang hampir-hampir menjatuhkan mereka kepada perzinaan.”[4]
Berkata As-Syaukani, “Sebabnya adalah lelaki senang kepada wanita karena demikanlah ia telah diciptakan memiliki kecondongan kepada wanita, demikian juga karena sifat yang telah dimilikinya berupa syahwat untuk menikah. Demikian juga wanita senang kepada lelaki karena sifat-sifat alami dan naluri yang telah tertancap dalam dirinya. Oleh karena itu syaitan menemukan sarana untuk mengobarkan syahwat yang satu kepada yang lainnya maka terjadilah kemaksiatan.”[5]
Imam An-Nawawi berkata, “…Diharamkannya berkhalwat dengan seorang wanita ajnabiah dan dibolehkannya berkholwatnya (seorang wanita) dengan mahramnya, dan dua perkara ini merupakan ijma’ (para ulama)”[6]

B.       Apakah yang dimaksud dengan mahram?
Apakah yang dimaksud dengan mahram? Madzhab Syafi’i berpendapat Mahrom adalah wanita yang diharamkan untuk dinikahi untuk selama-lamanya baik karena nasab maupun dikarenakan sebab tertentu yang dibolehkan dan dikarenakan kemahraman wanita tersebut.[7] Dari  definisi ini maka diketahui bahwa:
1.    (wanita yang diharamkan untuk dinikahi), maka bukanlah mahrom anak-anak paman dan anak-anak bibi (baik paman dan bibi tersebut saudara sekandung ayah maupun saudara sekandung ibu).
2.    (untuk selama-lamanya), maka bukanlah mahrom saudara wanita istri dan juga bibi (tante) istri (baik tante tersebut saudara kandung ibu si istri maupun saudara kandung ayah si istri) karena keduanya bisa dinikahi jika sang istri dicerai, demikian juga bukanlah termasuk mahrom wanita yang telah ditalak tiga, karena ia bisa dinikahi lagi jika telah dinikahi oleh orang lain kemudian dicerai. Demikian juga bukanlah termasuk mahram wanita selain ahlul kitab (baik yang beragama majusi, budha, hindu, maupun kepercayaan yang lainnya) karena ia bisa dinikahi jika masuk dalam agama Islam.
3.    (dikarenakan sebab tertentu yang dibolehkan), maka bukanlah mahrom ibu yang dijima’i oleh ayah dengan jima’ yang syubhat (tidak dengan pernikahan yang sah) dan juga anak wanita dari ibu tersebut. Ibu tersebut tidak boleh untuk dinikahi namun ia bukanlah mahrom karena jima’ syubhat tidak dikatakan boleh dilakukan.
4.    (dikarenakan kemahroman wanita tersebut), maka bukan termasuk mahrom wanita yang dipisah dari sauaminya karena mula’anah[8], karena wanita tersebut diharamkan untuk dinikahi kembali oleh suaminya yang telah melaknatnya selama-lamanya namun bukan karena kemahroman wanita tersebut namun karena sikap ketegasan dan penekanan terhadap sang suami.[9]
Dan jika telah jelas bahwa sang wanita adalah mahromnya maka tidak boleh baginya untuk menikahinya dan boleh baginya untuk memandangnya dan berkhalwat dengannya dan bersafar menemaninya, dan hukum ini mutlak mencakup mahrom yang disebabkan karena nasab atau karena persusuan atau dikarenakan pernikahan.[10]
Berkata Imam An-Nawawi, “Yang dimaksud mahram dari sang wanita ajnabiah yang jika ia berada bersama sang wanita maka boleh bagi seorang pria untuk duduk (berkhalwat) bersama wanita ajnabiah tersebut, disyaratkan harus merupakan seseorang yang sang pria ajnabi sungkan (malu/tidak enak hati) dengannya. Adapun jika mahrom tersebut masih kecil misalnya umurnya dua atau tiga tahun atau yang semisalnya maka wujudnya seperti tidak adanya tanpa ada khilaf.”[11]

C.      Pembagian Khalwat
Selanjutnya Ibnu Hajar menjelaskan bahwasanya ada khalwat yang diharamkan dan ada khalwat yang diperbolehkan:
1.  Khalwat yang diperbolehkan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama wanita tersebut, yaitu memojok dengan suara yang tidak di dengar oleh khalayak namun tidak tertutup dari pandangan mereka. Hal ini juga sebagaimana penjelasan Al-Muhallab, “Anas tidak memaksudkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga tidak kelihatan oleh orang-orang sekitar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala itu, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga orang-orang disekitarnya tidak mendengar keluhan sang wanita dan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wanita tersebut. Oleh karena itu Anas mendengar akhir dari pembicaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wanita tersebut lalu iapun menukilnya (meriwayatkannya) dan ia tidak meriwayatkan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wanita itu karena ia tidak mendengarnya”[12]
2.  Khalwat yang diharamkan adalah khalwat (bersendiriannya) antara lelaki dan wanita sehingga tertutup dari pandangan manusia.[13]

Jika ada yang mengatakan, “Berdasarkan definisi khalwat yang diharamkan di atas maka berdua-duaannya seorang wanita dan pria di emperan jalan-jalan raya bukanlah khalwat yang diharamkan karena semua orang memandang mereka’??, Memang benar hal itu bukanlah merupakan khalwat yang diharamkan, namun ingat di antara hikmah diharamkan khalwat adalah karena khalwat merupakan salah satu sarana yang mengantarakan kepada perbuatan zina, sebagaimana mengumbar pandangan merupakan awal langkah yang akhirnya mengantarkan pada perbuatan zina. Oleh karena itu bentuk khalwat yang dilakukan oleh kebanyakan pemuda meskipun jika ditinjau dari hakikat khalwat itu sendiri bukanlah khalwat yang diharamkan, namun jika ditinjau dari fitnah yang timbul akibat khalwat tersebut maka hukumnya adalah haram. Para pemuda-pemudi yang berdua-duaan tersebut telah jatuh dalam hal-hal yang haram lainnya seperti saling memandang antara satu dengan yang lainnya, sang wanita mendayu-dayukan suaranya dengan menggoda, belum lagi pakaian sang wanita yang tidak sesuai dengan syari’at, dan lain sebagaianya yang jauh lebih parah. Khalwat yang asalnya dibolehkan ini namun jika tercampur dengan hal-hal yang haram ini maka hukumnya menjadi haram. Khlawat yang tidak aman dari munculnya fitnah maka hukumnya haram.

D.      Hukum berkhalwatnya seorang pria dengan beberapa wanita tanpa mahram
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum berkhalwatnya seorang pria dengan wanita ajnabiah jika jumlah wanita tersebut lebih dari satu, demikian juga sebaliknya (berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki ajnabi). Berkata Imam An-Nawawi, “Tidak ada perbedaan tentang diharamkannya berkhalwat antara tatkala sholat maupun di luar sholat”.[14] Imam An-Nawawi berkata, “Berkata para sahabat kami (yang bermadzhab Syafi’i), jika seorang pria mengimami seorang wanita yang merupakan mahramnya dan berkhalwat dengannya maka tidaklah mengapa dan sama sekali tidak makruh karena boleh baginya untuk berkhalwat dengannya di luar shalat. Dan jika ia mengimami seorang wanita ajanabiah dan berkhalwat dengannya maka hukumnya adalah haram…dan jika ia mengimami banyak wanita yang ajnabiah dengan kondisi berkhalwat bersama mereka maka ada dua pendapat. Jumhur ulama berpendapat akan bolehnya hal itu…karena para wanita yang berkumpul biasanya tidak memungkinkan seorang laki-laki untuk berbuat sesuatu hal yang buruk terhadap salah seorang dari mereka dihadapan mereka. Imamul Haromain dan penulis buku Al-‘Uddah menukil bahwasanya Imam As-Syafii menyatakan bahwa diharamkannya seorang pria mengimami beberapa wanita kecuali diantara wanita tersebut ada mahram pria tersebut atau istrinya. Dan Imam As-Syafii meyakinkan akan haramnya berkhalwatnya seorang pria dengan para wanita kecuali jika ada mahram pria tersebut bersama mereka”[15]
Renungkanlah betapa tegasnya Imam As-Syafii dalam pengharaman kholwat antara wanita dan pria, sampai-sampai beliau mengharamkan seorang laki-laki mengimami para wanita (dalam keadaan berkhalwat dengan mereka) kecuali jika ada diantara wanita tersebut mahrom sang imam atau istri sang imam. Padahal ini dalam keadaan beribadah yang sangat agung (yaitu sholat) yang tentunya orang yang sedang sholat jauh dari pikiran-pikiran yang kotor, selain itu sang imam pun berada di depan dan para wanita berada dibelakangnya sehingga ia tidak melihat mereka, namun demikian Imam Syafi’i tetap mengharamkan hal ini.
Berkata As-Sarkashi, “…Kemakruhan (atau keharoman) hal ini (menurut Imam As-Syafi’i-pen) tidak akan hilang hingga ada diantara para wanita tersebut mahrom mereka, sebagaimana dalam hadits Anas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat mengimami mereka di rumah mereka, Anaspun berkata, “Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan aku dan seorang anak yatim di belakangnya (pada shaf pertama) dan menjadikan ibuku dan Ummu Sulaim di belakang kami”.[16] Karena dengan adanya mahram hilanglah kekhawatiran akan timbulnya fitnah, dan hal sama saja apakah mahrom tersebut adalah mahrom bagi semua wanita tersebut atau hanya merupakan mahram bagi sebagian mereka dan diperbolehkan sholat dalam seluruh keadaan tersebut, karena kebencian (terhadap khalwat tersebut) berada jika diluar sholat”.[17]

E.       Hukum berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki (lebih dari satu orang)
عَبْدُ اللهِ بْنِ عَمْرٍو بْنِ اْلعَاصِ حَدّثَهُ أَنَّ نَفَرًا مِنْ بَنِيْ هَاشِمٍ دَخَلُوْا عَلَى أَسْمَاء بِنْتِ عُمَيْس فَدَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ وَهِيَ تحته يَوْمَئِذٍ فَرَآهُمْ فَكَرِهَ ذَلِكَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِرَسُوْلِ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  وَقَالَ لَمْ أَرَ إِلَّا خَيْرًا فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ  اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  إِنَّ اللهَ قَدْ بَرَأَهَا مِنَ ذَلِكَ ثُمَّ قَامَ رسولُ اللهِ  اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ لاَ يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِيْ هَذَا عَلَى مُغِيْبَةٍ إِلَّا وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوْ اِثْنَانِ
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash bahwasanya beberapa orang dari bani Hasyim masuk (menemui) Asma’ binti ‘Umais, lalu Abu Bakar masuk –dan tatkala itu Asma’ telah menjadi istri Abu Bakar As-Siddiq- lalu Abu Bakar melihat mereka dan ia membenci hal itu, lalu iapun menyampaikan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia berkata, “Aku tidak melihat sesuatu kecuali kebaikan”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya Allah telah menyatakan kesuciannya dari perkara tersebut (perkara yang jelek)”, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar dan berkata, “Setelah hari ini tidaklah boleh seorang laki-laki menemui mughibah (yaitu seorang wanita yang suaminya sedang tidak berada di rumah) kecuali bersamanya seorang laki-laki (yang lain) atau dua orang”.[18]

Yang dimaksud dengan mughibah adalah wanita yang suaminya sedang tidak berada di rumah, baik karena sedang bersafar keluar kota maupun keluar dari rumah namun masih dalam kota, dalilnya adalah hadits ini. Dikatakan bahwa Abu Bakar sedang tidak berada di rumah, bukan sedang keluar kota.[19]
Berkata Imam An-Nawawi, “Dzohir dari hadits ini menunjukan akan bolehnya berkhalwatnya dua atau tiga orang lelaki dengan seorang wanita ajnabiah, dan yang masyhur menurut para sahabat kami (yaitu penganut madzhab syafi’iah) akan haramnya hal ini. Oleh karena itu hadits ini (bolehnya berkhalwat) dibawakan kepada kepada sekelompok orang yang kemungkinannya jauh untuk timbulnya kesepakatan diantara mereka untuk melakukan perbuatan nista karena kesholehan mereka, atau muru’ah mereka dan yang lainnya”.[20]
Adapun para ulama yang mengatakan akan bolehnya berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki mereka menyaratkan bahwa para lelaki tersebut merupakan orang-orang yang terpercaya dan tidak bersepakat untuk melakukan hal yang nista terhadap wanita tersebut.
Dan ini merupakan pendapat Syaikh Al-Albani.
Berkata Imam An-Nawawi, “Adapun berkholwatnya dua orang lelaki atau lebih dengan seorang wanita maka yang masyhur adalah haramnya hal ini dikarenakan bisa jadi mereka para lelaki tersebut bersepakat untuk melakukan hal yang keji (zina) terhadap wanita itu. Dan dikatakan bahwa jika mereka adalah termasuk orang-orang yang jauh dari perbuatan seperti itu maka tidak mengapa.”[21]


[1]     HR Ahmad 1/18, Ibnu Hibban (lihat shahih Ibnu Hibban 1/436), At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 2/184 , dan Al-Baihaqi dalam sunannya 7/91. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah  1/792 no 430
[2]     HR Ahmad dari hadits Jabir 3/339. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Golil jilid 6 no 1813
[3] HR Al-Bukhari no 5233 dan Muslim (2/975).
[4] Faidhul Qodir 3/78
[5] Nailul Autor 9/231
[6] Al-Minhaj 14/153
[7] Imam An-Nawawi, (Al-Minhaj 14/153)
[8] Mawahibul Jalil 4/116
[9] Al-Asybah wan Nadzoir 1/261
[10] Al-Asybah wan Nadzooir 1/262
[11] Al-Majmu’ 4/242
[12] Fathul Bari 9/413
[13] Al-Adab As-Syar’iyah 1/302
[14] Al-Majmu’ 4/242
[15] Al-Majmu’ 4/241

[16] HR Al-Bukhari 1/149,  Muslim 1/457
[17] Al-Mabshuth karya As-Sarkashi 1/166
[18] HR Muslim 4/1711, Shahih Ibnu Hibban 12/398
[19] Al-Minhaj 4/155
[20] Al-Minhaj 4/155
[21] Al-Majmu’ 4/241


BAB III
PENUTUP

Berdasarkan pembahasan dari bab sebelumnya dapatlah diambil kesimpulan ahwa diharamkannya berkhalwat dengan seorang wanita ajnabiah dan dibolehkannya berkholwatnya (seorang wanita) dengan mahramnya, dan dua perkara ini merupakan ijma’ (para ulama).
Mahrom adalah wanita yang diharamkan untuk dinikahi untuk selama-lamanya baik karena nasab maupun dikarenakan sebab tertentu yang dibolehkan dan dikarenakan kemahraman wanita tersebut.
Khalwat ada dua; khalwat yang diharamkan dan ada khalwat yang diperbolehkan. Khalwat yang dibolehkan adalah yaitu memojok dengan suara yang tidak di dengar oleh khalayak namun tidak tertutup dari pandangan mereka. Khalwat yang diharamkan adalah khalwat (bersendiriannya) antara lelaki dan wanita sehingga tertutup dari pandangan manusia.
Akhirnya marilah kita semua menjaga dan melestarikan nilai-nilai Islami ini di dalam kehidupan kita sehari-hari dalam rangka mewujudkan masyarakat yang madani dan bermartabat sehingga kita pun dapat mencapai baldatun thoyyibatun warabbun gafur.

 
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari, terbitan Darus Salam, cetakan pertama 1421 H.
Badaruddin Al-‘Aini, Umdatul Qori,  terbitan Dar Ihyaut Turots Al-‘Arobi.
An-Nawawi, Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, terbitan Daru Fikr.
Imam An-Nawawi, Al-Minhaj syarh shahih Muslim, terbitan Dar Ihyaut Turots, cetakan ketiga.
Ibnul Atsir, An-Nihayah fi goribil hadits, terbitan Darul Ma’rifah, tahqiq Syaikh Kholil Ma’mun.
Al-Mabsuth, As-Sarkhasi, Darul Ma’rifah.

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah  adalah sebuah mutiara kata yang memang sudah sepantasnya kita panjatkan kepada Allah swt karena ats karunianya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad saw beserta para sahabat, kerabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis juga tak lupa untuk menyampaikan terimakasih kepada dosen pengasuh mata kuliah Hadits Tarbawi yang sudah memberikan bimbingannya selama ini.
Penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi isi maupun penulisan. Namun penulis tetap berharap semoga dari makalah yang kecil ini dapat menambah sedikit khazanah keilmuan kita. Dan semoga segala apa yang kita lakukan mendapat limpahan rahmat dari Allah swt. Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Deep breathing

Do you know what is the usage of taking deep breathing? it is for healing your heart. sometime you cannot talk sometime you cannot cry somet...